Perumusan kebangkitan bangsa bukanlah hal mudah, namun bukan pula hal yang tidak mungkin. Pelik tapi sederhana, penguraian ratusan benang kusut masalah bangsa. Akan memakan waktu memang, setahun tidak, ratusan tahun mungkin. Namun apalagi alasan keberadaan saya apabila tiap hari saya memikirkan masalah kebangkitan bangsa ini jika bukan untuk mewujudkannya.
Kebesaran sebuah bangsa bukanlah terletak dari seberapa banyak kekayaan mereka, seberapa makmur mereka, seberapa stabil ekonomi mereka, seberapa kuat militer mereka, ataupun seberapa maju teknologi mereka. Satu hal mendasarkan yang akan membedakan kebesaran sebuah bangsa adalah seberapa besar sumbangan mereka untuk mewujudkan peradaban manusia yang berdasarkan nilai-nilai ilahiah yang pada dasarnya memang tidak akan pernah terwujud.
Nilai-nilai ilahiah tersebut salah satunya misal adalah keadilan. Kenapa
nilai-nilai ilahiah? Karena saat kita mendasarkan pada nilai-nilai
kebutuhan manusia, maka semua yang ada di dunia ini tidak akan pernah
cukup. Karena pada kenyataannya kebutuhan manusia itu sendiri tidak tak
terbatas. Namun ada satu batasan yang akan membuat kebutuhan manusia
yang tak terbatas itu menjadi sebuah kekuatan yang tidak terbatas juga.
Batasan itu adalah saat kita mengubah cara pandang kita terhadap dunia.
Dunia ini bukanlah untuk kita, tapi kita lah untuk dunia.
Proses perubahan cara pandang akan berakibat besar terhadap pola pemenuhan kebutuhan kita. Karena kebutuhan kita itu sendiri akan berubah. Ternyata kebutuhan itu sendiri menjadi relatif. Saat kita memfokuskan semua hal untuk kepentingan kita maka semua pemenuhan kebutuhan kita tidak akan melebihi kepada kebutuhan-kebutuhan primer. Hal tersebut tidak menjadikan kita berbeda dari makhluk lain. Pertanyaan selanjutnya lalu untuk apa kita dibuat berbeda? Lalu untuk apa kita diberikan akal. Perubahan cara pandang ini secara mendasar mencoba untuk mengangkat kembali nilai-nilai kemanusiaan yang merupakan turunan pertama dari nilai-nilai ilahiah. Nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri akan muncul dari diri seseorang ketika dia mulai mengarah dirinya pada pola tindakan yang berdasarkan kepada kebermanfaatan diri dia untuk sesuatu yang bukan dia. Jadi inilah arti sebenarnya dari istilah kuno bahwa ”musuh terbesar manusia adalah diri mereka sendiri”.
Jelas bahwa segala sesuatu yang sifatnya sebagai sebuah alat, seperti ekonomi, militer ataupun teknologi tidaklah akan membawa manusia pada sebuah kondisi dimana nilai-nilai kemanusiaan itu terangkat. Kondisi saat ini cukuplah menjadi sebuah bukti mutlak. Saat ini, dimana nilai-nilai palsu itu menjadi sebuah patokan kemajuan sebuah bangsa, semua negara berbondong-bondong untuk memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Padahal jika kita mengaitkan kehidupan pada hal-hal yang sifatnya material maka nilai-nilai ilahiah dan kemanusiaan tadi akan sangat jauh dari peradaban. Karena jumlah materi di dunia ini selalu tetap, jika ada sebagian manusia yang berusaha untuk mendapatkan lebih maka ada sebagian orang yang kehilangan. Jelas sudah bahwa paradigma yang dibangun oleh dominasi barat ini tidaklah membawa umat manusia pada nilai-nilai yang hakiki yang membawa manusia ke derajat kemanusiaannya. Keterbatasan manusia (jika anda meyakininya) jika dianalogikan maka seperti sebuah bom yang anda pegang dalam mengarungi hidup ini. Banyak sekali tragedi yang terjadi sebagai sebuah wujud ketidakmampuan manusia dalam memahami maksud keterbatasan tersebut. Keterbatasan tersebut menjadikan batasan terhadap pengembangan nilai kemanusiaan. Keterbatasan tersebut adalah perbedaan. Suku, ras, negara, warna kulit dan semua perbedaan lainnya, yang pada dasarnya sama sekali tidak menunjukkan perbedaan pada nilai-nilai dasar kemanusiaan. Perbedaan menjadi malapetaka saat ini. Sehingga muncul teori global village, agar gap perbedaan menjadi sesuatu yang tipis. Namun filosofi dasar dari teori tersebut sangatlah dangkal, jika menyatakan bahwa saat perbedaan hilang secara fisik maka kehidupan manusia menjadi lebih baik. Padahal perbedaan itu akan selalu ada, karena itu merupakan sesuatu yang akan selalu melekat pada kehidupan manusia.
Sebenarnya yang harus dihilangkanlah adalah persepsi yang salah mengenai perbedaan itu sendiri. Bangsa yang besar akan melihat perbedaan yang ada di dunia ini sebagai sebuah kesempatan untuk saling memberikan kebermanfaatan diri pada lingkungan luar. Perbedaan itu sendiri yang menjadi pintu gerbang interaksi antar manusia. Jadi apakah seharusnya perbedaan menjadi biang dari malapetaka kehidupan manusia. Sejarah membuktikan demikian.
Apa dampak sebenarnya dari perubahan cara pandang ini? Apa kontribusi dari perubahan cara pandang ini terhadap kebangkitan bangsa, bahkan kebangkitan umat manusia? Sederhana, perubahan, karena perubahan akan selalu dimulai dari perubahan cara pandang. Tidak ada tindakan yang akan dilakukan seseorang jika untuk melakukan perubahan jika cara pandang yang dia miliki masih cara pandang yang salah. Karena cara pandang itu yang menjadi batasan bagi kita untuk melakukan segala sesuatu. Semacam menjadi sebuah pemandu kita dalam melakukan sesuatu. Syarat sebuah kebangkitan sebuah bangsa adalah perubahan cara pandang. Indonesia tidak akan merdeka jika tidak ada orang-orang yang meyakinkan bahwa kemerdekaan adalah sebuah keniscayaan dan sebuah keharusan. Maka berbondong-bondonglah orang-orang mempercayai dan memperjuangkan keyakinan itu. Sangat sederhana mungkin, namun disitulah letak kerumitannya karena berkaitan dengan sesuatu yang sangat pribadi dari sisi kemanusiaan yaitu keyakinan. Saat ini keyakinan itu sendiri sedang diporak-porandakan oleh pola-pola pengembangan paham-paham materialisme yang menempatkan nilai-nilai yang salah pada keyakinan manusia. Syarat awal dari kebangkitan bangsa, sebuah gerakan menuju perubahan kehidupan manusia yang lebih baik, adalah dengan mencari, mengumpulkan, dan membentuk orang-orang yang saat ini memiliki cara pandang yang dapat memberikan masukan pada pola gerakan dan gerakan itu sendiri. Mereka-mereka ini akan muncul sebagai produk ketidaknormalan sistem yang berkuasa saat ini, namun satu hal yang perlu dicatat bahwa mereka-mereka ini tidak mencoba membuat sistem lain, sistem tandingan yang baru. Karena pada dasarnya sistem itu sendiri adalah sebuah pendekatan manusia sebagai sebuah wujud keterbatasan manusia dalam menyelesaikan masalah. Sehingga sistem tidak lebih menjadi sebuah tools saja bagi mereka. Semua alat memiliki nilai keuntungan dan kerugiaannya masing-masing. Mereka-mereka ini hanya akan mewarnai kehidupan manusia saat ini dengan pola dan cara pandang yang berbeda, sehingga di sistem manapun mereka berada akan mengarahkan sistem tersebut ke pengembangan sejarah manusia menuju peradaban yang lebih hakiki.
Dimana mereka-mereka dan Siapa mereka-mereka itu? Menurut Anda, bagaimanakah wujud dari dunia kita ini nanti? Coba saya tebak, tidak akan banyak berubah? Tepat sekali! Kenapa? Karena dunia ini akan berubah jika manusia itu sendiri berubah atau manusia menghilang di atas permukaan bumi ini. Berubah seperti apa? Berubah menjadi manusia! Itulah jawaban dari semua kekacauan yang terjadi saat ini. Manusia harus menjadi manusia. Pertanyaan selanjutnya, manusia seperti apa yang ada saat ini? Bagi saya ada beberapa komponen yang membangun karakter manusia, pertama adalah kebutuhan, kemampuan, dan kemanusiaan. []
Proses perubahan cara pandang akan berakibat besar terhadap pola pemenuhan kebutuhan kita. Karena kebutuhan kita itu sendiri akan berubah. Ternyata kebutuhan itu sendiri menjadi relatif. Saat kita memfokuskan semua hal untuk kepentingan kita maka semua pemenuhan kebutuhan kita tidak akan melebihi kepada kebutuhan-kebutuhan primer. Hal tersebut tidak menjadikan kita berbeda dari makhluk lain. Pertanyaan selanjutnya lalu untuk apa kita dibuat berbeda? Lalu untuk apa kita diberikan akal. Perubahan cara pandang ini secara mendasar mencoba untuk mengangkat kembali nilai-nilai kemanusiaan yang merupakan turunan pertama dari nilai-nilai ilahiah. Nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri akan muncul dari diri seseorang ketika dia mulai mengarah dirinya pada pola tindakan yang berdasarkan kepada kebermanfaatan diri dia untuk sesuatu yang bukan dia. Jadi inilah arti sebenarnya dari istilah kuno bahwa ”musuh terbesar manusia adalah diri mereka sendiri”.
Jelas bahwa segala sesuatu yang sifatnya sebagai sebuah alat, seperti ekonomi, militer ataupun teknologi tidaklah akan membawa manusia pada sebuah kondisi dimana nilai-nilai kemanusiaan itu terangkat. Kondisi saat ini cukuplah menjadi sebuah bukti mutlak. Saat ini, dimana nilai-nilai palsu itu menjadi sebuah patokan kemajuan sebuah bangsa, semua negara berbondong-bondong untuk memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Padahal jika kita mengaitkan kehidupan pada hal-hal yang sifatnya material maka nilai-nilai ilahiah dan kemanusiaan tadi akan sangat jauh dari peradaban. Karena jumlah materi di dunia ini selalu tetap, jika ada sebagian manusia yang berusaha untuk mendapatkan lebih maka ada sebagian orang yang kehilangan. Jelas sudah bahwa paradigma yang dibangun oleh dominasi barat ini tidaklah membawa umat manusia pada nilai-nilai yang hakiki yang membawa manusia ke derajat kemanusiaannya. Keterbatasan manusia (jika anda meyakininya) jika dianalogikan maka seperti sebuah bom yang anda pegang dalam mengarungi hidup ini. Banyak sekali tragedi yang terjadi sebagai sebuah wujud ketidakmampuan manusia dalam memahami maksud keterbatasan tersebut. Keterbatasan tersebut menjadikan batasan terhadap pengembangan nilai kemanusiaan. Keterbatasan tersebut adalah perbedaan. Suku, ras, negara, warna kulit dan semua perbedaan lainnya, yang pada dasarnya sama sekali tidak menunjukkan perbedaan pada nilai-nilai dasar kemanusiaan. Perbedaan menjadi malapetaka saat ini. Sehingga muncul teori global village, agar gap perbedaan menjadi sesuatu yang tipis. Namun filosofi dasar dari teori tersebut sangatlah dangkal, jika menyatakan bahwa saat perbedaan hilang secara fisik maka kehidupan manusia menjadi lebih baik. Padahal perbedaan itu akan selalu ada, karena itu merupakan sesuatu yang akan selalu melekat pada kehidupan manusia.
Sebenarnya yang harus dihilangkanlah adalah persepsi yang salah mengenai perbedaan itu sendiri. Bangsa yang besar akan melihat perbedaan yang ada di dunia ini sebagai sebuah kesempatan untuk saling memberikan kebermanfaatan diri pada lingkungan luar. Perbedaan itu sendiri yang menjadi pintu gerbang interaksi antar manusia. Jadi apakah seharusnya perbedaan menjadi biang dari malapetaka kehidupan manusia. Sejarah membuktikan demikian.
Apa dampak sebenarnya dari perubahan cara pandang ini? Apa kontribusi dari perubahan cara pandang ini terhadap kebangkitan bangsa, bahkan kebangkitan umat manusia? Sederhana, perubahan, karena perubahan akan selalu dimulai dari perubahan cara pandang. Tidak ada tindakan yang akan dilakukan seseorang jika untuk melakukan perubahan jika cara pandang yang dia miliki masih cara pandang yang salah. Karena cara pandang itu yang menjadi batasan bagi kita untuk melakukan segala sesuatu. Semacam menjadi sebuah pemandu kita dalam melakukan sesuatu. Syarat sebuah kebangkitan sebuah bangsa adalah perubahan cara pandang. Indonesia tidak akan merdeka jika tidak ada orang-orang yang meyakinkan bahwa kemerdekaan adalah sebuah keniscayaan dan sebuah keharusan. Maka berbondong-bondonglah orang-orang mempercayai dan memperjuangkan keyakinan itu. Sangat sederhana mungkin, namun disitulah letak kerumitannya karena berkaitan dengan sesuatu yang sangat pribadi dari sisi kemanusiaan yaitu keyakinan. Saat ini keyakinan itu sendiri sedang diporak-porandakan oleh pola-pola pengembangan paham-paham materialisme yang menempatkan nilai-nilai yang salah pada keyakinan manusia. Syarat awal dari kebangkitan bangsa, sebuah gerakan menuju perubahan kehidupan manusia yang lebih baik, adalah dengan mencari, mengumpulkan, dan membentuk orang-orang yang saat ini memiliki cara pandang yang dapat memberikan masukan pada pola gerakan dan gerakan itu sendiri. Mereka-mereka ini akan muncul sebagai produk ketidaknormalan sistem yang berkuasa saat ini, namun satu hal yang perlu dicatat bahwa mereka-mereka ini tidak mencoba membuat sistem lain, sistem tandingan yang baru. Karena pada dasarnya sistem itu sendiri adalah sebuah pendekatan manusia sebagai sebuah wujud keterbatasan manusia dalam menyelesaikan masalah. Sehingga sistem tidak lebih menjadi sebuah tools saja bagi mereka. Semua alat memiliki nilai keuntungan dan kerugiaannya masing-masing. Mereka-mereka ini hanya akan mewarnai kehidupan manusia saat ini dengan pola dan cara pandang yang berbeda, sehingga di sistem manapun mereka berada akan mengarahkan sistem tersebut ke pengembangan sejarah manusia menuju peradaban yang lebih hakiki.
Dimana mereka-mereka dan Siapa mereka-mereka itu? Menurut Anda, bagaimanakah wujud dari dunia kita ini nanti? Coba saya tebak, tidak akan banyak berubah? Tepat sekali! Kenapa? Karena dunia ini akan berubah jika manusia itu sendiri berubah atau manusia menghilang di atas permukaan bumi ini. Berubah seperti apa? Berubah menjadi manusia! Itulah jawaban dari semua kekacauan yang terjadi saat ini. Manusia harus menjadi manusia. Pertanyaan selanjutnya, manusia seperti apa yang ada saat ini? Bagi saya ada beberapa komponen yang membangun karakter manusia, pertama adalah kebutuhan, kemampuan, dan kemanusiaan. []
Lovalia - berbagai sumber dan pemikiran :)
0 komentar:
Posting Komentar